Perjalanan (Astral) Para Pandawa ke JambuDwipa Setelah Perang Mahabharata

Tulisan ini akan menguraikan apa itu Jambudvipa. Secara kosmis dan susunan antar tata surya sudah saya tuliskan pada tulisan sebelumnya. Jambu Dvipa merupakan bagian dari Bhurloka yang secara bersamaan disebut Bhugola dan BhuMandala. Tulisan kali ini, juga ada kaitannya dengan perjalanan Arjuna pada masa Mahabharata yang merupakan akhir dari Dvapara Yuga, yang sudah saya tulis sebelumnya. Namun, kali ini untuk mengurai wilayah Jambu dvipa tersebut, saya kaitkan dengan perjalanan Para Pandava pada masa Mahabharata. Untuk memahami tulisan ini silahkan agar dapat memahami uraian tentang susunan planet sebelumnya.

Kurusetra

Mahābhārata (dalam bagian Vana Parva) juga menjelaskan tentang perjalanan suci para Pāṇḍava yang dipimpin oleh Lomasa Muni. Perjalanan tersebut menggambarkan apa yang kita sekarang kenal sebagai wilayah India. Perjalanan tersebut melalui wilayah Bhārata-varṣa (dunia 3 dimensi bhurloka) yang lebih luas, melewati varṣa lain (dunia lebih dari 3 dimensi bhurloka) hingga mereka datang untuk melihat Gunung Meru sendiri yang berada di pusat Jambūdvīpa. Gunung Meru yang hanya dapat dilihat lebih dari 3 dimensi.

Jambu-dvipa, dilihat dari penglihatan lebih dari 3 dimensi. Posisi Gandhamadana dengan Malyavan kadang tertukar

Gunung-gunung yang memisahkan wilayah selatan Jambūdvīpa antara lain Hemakūṭa, Niṣadha, dan Himalaya, yang dalam Śrīmad-Bhāgavatam setinggi 80.000 mil. Ini adalah perjalanan ratusan ribu mil. Tidak disebutkan tentang para Pāṇḍava yang menyeberang dari sebuah pulau ke pantai Jambūdvīpa. Mereka terus bepergian dengan tanah yang sama. Ini menunjukkan daratan yang jauh lebih besar daripada apa yang kita pahami saat ini sebagai Bumi kita.

Gagasan kami tentang Bumi sebagai bola dunia (bhugola) tidak dapat mengakomodasi catatan sejarah ini karena menurut gagasan bola dunia jika Anda terus berjalan ke utara, maka orang akhirnya akan mencapai Kutub Utara (bhumandala) dan jika seseorang berhasil melintasi Kutub Utara maka Anda hanya akan menuju ke selatan lagi di seluruh dunia (dalam perjalanan 3 dimensi). Mahābhārata hanya menjelaskan bahwa Pāṇḍava terus bepergian ke utara dari India dan entah bagaimana memasuki wilayah luas Jambūdvīpa yang lebih luas (dalam perjalanan lebih dari 3 dimensi).

Kita harus mencatat bahwa menurut Mahābhārata, kemampuan seseorang untuk memahami dan mengakses wilayah-wilayah ini tidak bergantung pada mesin mekanik; itu tergantung pada kualifikasi spiritual. Spliritualitas yang dimaksud adalah menggunakan kemampuan supranatural, atau sekarang banyak disebut dengan memasuki alam gaib (astral).

Wahai ras Kuru, mengamati tata cara sebagaimana dijelaskan olehku, kunjungi dengan indera yang tenang, tirtha ini [tempat-tempat perjalanan suci] … orang-orang yang saleh dan belajar dapat mengunjungi tirtha ini, dengan perasaan murni mereka, keyakinan mereka menuju Ketuhanan, dan pemahaman mereka dengan Veda. Dia yang tidak mematuhi sumpah, dia yang tidak memiliki kendali jiwanya , dia yang tidak murni, dia yang adalah pencuri, dan dia yang memiliki pikiran bengkok, tidak, O Kauravya, mandi dalam tirthas. (Mahābhārata, Vana Parva LXXXV diterjemahkan oleh Kisari Mohan Ganguli)

Pembicaraan dengan Kurawa

Oleh karena itu, dengan mengambil narasi secara literal, kita membaca dalam Mahābhārata bahwa para Pāṇḍava melakukan perjalan suci dari apa yang kita kenal sebagai India masa kini, melintasi wilayah besar Jambūdvīpa sebelum menetap di Gunung Gandhamādana dari tempat mereka memandang Meru sendiri. Gunung Gandhamādana digambarkan dalam Śrīmad-Bhāgavatam setinggi 16.000 mil dan terletak di sebelah timur Gunung Meru. Dari puncak gunung Dhaumya ini, pendeta Pāṇḍava menunjuk Meru di kejauhan:

Lihatlah puncak Meru yang sangat bagus dan cerah di mana Brahma duduk bersama bapak-bapak surgawi yang bahagia dalam pengetahuan diri. (Mahābhārata, Vana Parva CLXII, diterjemahkan oleh Kisari Mohan Ganguli)

Percakapan dengan Pandawa

Dalam bab penutup Mahābhārata, para Pāṇḍava kembali ke Jambūdvīpa:

Kemudian di pantai utara laut asin, para Bharata melanjutkan ke barat daya. Melewati di sebelah barat, mereka melihat kota Dwaraka (tempat Krshna dan Balarama) tertutupi oleh lautan. Berbelok ke sebelah utara, yang terpenting terus berjalan. Sambil beryoga, mereka berkeinginan membuat putaran seluruh bumi. Vaisampayana berkata, ‘Para pangeran dari jiwa-jiwa yang terkendali dan mengabdikan diri pada Yoga, melanjutkan ke Utara, melihat Himavan, gunung yang sangat besar itu. Melintasi Himavat mereka melihat padang pasir yang luas. Mereka kemudian melihat gunung Meru yang perkasa, yang paling utama dari semua gunung yang menjulang tinggi. (Mahābhārata, Mahaprasthaika Parva, Bagian 1 dan 2)

Perjalanan Pandava dan Drupadi saat melihat tempat Krshna dan Balarama tenggelam

Di sini dijelaskan bahwa Pāṇḍava pertama kali mengelilingi dunia sebagai tanda penghormatan dan kemudian melanjutkan ke utara lagi melalui Himalaya sebelum mencapai Gunung Meru di Jambūdvīpa (yg dapat dilihat dengan dimensi tinggi). Pada tahap terakhir dari hidup mereka di Bumi, para Pāṇḍava meninggalkan dunia fana.

Dalam sebuah ceramah yang menarik yang diberikan pada tahun 1973, Śrīla Prabhupāda berbicara tentang bacaan Pāṇḍava kepada Himalaya yang lebih besar ini melalui wilayah Arktik:

udīcīṁ praviveśāśāṁ / gata-pūrvāṁ mahātmabhiḥ 

hṛdi brahma paraṁ dhyāyan / nāvarteta yato gataḥ

Terjemahan: “Dia kemudian mulai menuju utara, menempuh jalan setapak yang diterima oleh leluhurnya, untuk mengabdikan dirinya sepenuhnya pada pemikiran Personalitas Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa. Dan dia hidup dengan cara itu ke mana pun dia pergi.”

Prabhupāda: Udīcīṁ praviveśa. Jadi orang yang pergi ke sisi utara, harus dipahami dia tidak pernah kembali. Sisi utara berarti zona Arktik, tertutup salju. Jadi ini dikenal di masa Bhāgavata. Tidak hanya pada hari-hari Bhāgavata, beberapa sebelumnya, sekitar 1000 tahun yang lalu juga, ada buku Kālidāsa Kumāra-sambhava. Kumāra-sambhava, “Kelahiran Kārttikeya.”

Jadi dalam buku awalnya adalah

uttarasya asty diṁi himālayo nāma nagadhirājaḥ.

Uttarasyaṁ diśi, di sisi utara, ada gunung yang tertutup salju, Himalaya. Hima artinya es, hima.

Asty uttarasyaṁ diśi himālayo nāma nagadhirājaḥ:

“Di sisi utara, ada bukit atau gunung yang selalu tertutup salju.” Meskipun pada saat ini, Himalaya, ada satu gunung yang juga disebut Himalaya, Gunung Everest, tetapi saya pikir zona Kutub Utara (Artic) ini disebut. Karena dikatakan bahwa “menyentuh kedua sisi, air.”

Asty uttarasyaṁ diśi himālayo nāma nagadhirājaḥ, toya-nidhi avagāhya. Toya-nidhi.

Toya-nidhi berarti lautan, kedua sisi samudera, Samudra Pasifik, dan Samudra Atlantik. Avagāhya, menyentuh. Jadi zona Arktik disebut dalam banyak buku, literatur Veda. Bukannya itu tidak diketahui. Semuanya diketahui. Para sejarawan modern, mereka mengatakan seperti itu. Mereka mengatakan Bhāgavata ditulis sekitar 1.500 tahun yang lalu. Tidak. 5000 tahun yang lalu. Mereka membawa segalanya dalam era Kristen. Dan sebelum itu, menurut mereka tidak ada sejarah. Tapi itu bukan faktanya. (Ceramah tentang īrīmad-Bhāgavatam 1.15.44, Los Angeles, 22 Desember 1973)

Dari sudut pandang Bumi yang datar, masuk akal bahwa para Pāṇḍava menyeberang di suatu tempat dari Bhārata-varṣa ke Jambūdvīpa (secara dimensi tinggi). Di sini Śrīla Prabhupāda menyebutkan sebuah bagian Kutub Utara.

Menurut pemahaman saya sendiri tentang Bumi yang rata ini memang akan menjadi kasus bahwa ketika seseorang melanjutkan ke utara dari India, seseorang akhirnya akan datang ke Jambūdvīpa setelah melintasi wilayah es. Entah itu, atau ada semacam portal (astral) dari “Himalaya di India” ke “Himalaya yang lebih besar” yang tingginya 80.000 mil dan memisahkan Bhārata-varṣa dari Kimpuruṣa-varṣa. Saya percaya jika para sarjana bahasa Sansekerta mulai mempelajari teks-teks Veda dari perspektif Bumi yang datar, banyak bukti linguistik akan muncul untuk membuktikan titik ini bahwa sebuah bagian keluar antara Bhārata-varṣa dan Jambūdvīpa.

Wilayah Arktik dan Antartika saat ini ditutup untuk eksplorasi independen. Pemahaman saya adalah bahwa para pejabat tinggi di NASA dan lembaga militer lainnya milik pemerintah dunia memiliki pengetahuan tentang Bumi datar yang diperluas di luar Kutub Utara dan Antartika. Meskipun mereka tahu keberadaan tanah di luar wilayah ini, mereka sendiri tidak dapat memperoleh akses di sana. Memang, mereka memiliki sedikit gerakan baik pada bidang horizontal maupun vertikal.

Gambar palsu dari luar angkasa hanya membuktikan bahwa mereka tidak bisa meninggalkan atmosfer bumi. Sejak awal 1960, Śrīla Prabhupāda telah berargumen dalam bukunya Easy Journey to Other Planets, tentang ketidakmungkinan bepergian di luar angkasa dengan pengaturan mekanis. Śrīla Prabhupāda secara konsisten berargumen bahwa jiwa-jiwa yang berkondisi ditempatkan di area-area tertentu di alam semesta oleh karma mereka terikat dan dibatasi dalam berbagai cara untuk melakukan perjalanan ke mana pun mereka mau. Ini adalah perspektif sadar Krishna tentang dunia; orang yang mengakui kendali tertinggi Krishna atas gerakan dan tindakan makhluk hidup.

Klaim NASA untuk dapat melakukan perjalanan di luar angkasa hanyalah propaganda belaka. Manusia yang terikat oleh karma tidak dapat lagi melakukan perjalanan dari Bumi ke luar angkasa daripada seorang tahanan yang terikat oleh kunci dan rantai dapat berpindah dari penjara ke sebuah pantai di Hawaii. Satu kelompok tahanan Bumi hanya dapat mencoba dan meyakinkan yang lain bahwa mereka mengendalikan lingkungan penjara ketika keduanya sebenarnya terikat tangan dan kaki oleh rantai karma.

Dalam Śrīmad-Bhāgavatam, Himalaya (Himavat) yang memisahkan Bhārata-varṣa dari Kimpuruṣa-varṣa digambarkan tingginya 80.000 mil. Gunung Meru sendiri memiliki ketinggian 100.000 yojana atau 800.000 mil. Rahmat Sadāpūta Dāsa telah berusaha menjelaskan pengukuran besar Bhārata-varṣa dan Jambūdvīpa dengan mengacu pada teori alam semesta paralel; yaitu bahwa tempat yang kita kenal sebagai India dengan semua tempat suci, sungai, dan gunungnya memiliki padanan selestialnya dalam bentangan Jambūdvīpa yang jauh lebih besar. Sebagai contoh, landmark yang disebutkan seperti Gunung Himalaya di India, memiliki padanan paralelnya dalam versi yang jauh lebih besar (ketinggian 80.000 mil) di Bhārata-varṣa yang lebih besar.

Dalam sebuah artikel yang disebut Semesta Veda, Sadāpūta Dāsa menulis:

Pertama-tama, pertimbangkan ukuran gunung yang sangat besar dan area daratan di Jambudvipa. Sebagai contoh, India dikatakan 72.000 mil (9,000 yojanas) dari utara ke selatan, atau hampir tiga kali keliling Bumi. Demikian juga, Himalaya dikatakan setinggi 80.000 mil. Orang-orang di India pada zaman dahulu biasa berziarah dengan berjalan kaki dari satu ujung India ke ujung lainnya, sehingga mereka tahu seberapa besar India. Mengapa Bhagavatam memberikan jarak yang tidak realistis seperti itu? Jawabannya adalah bahwa Jambudvipa merangkap sebagai model alam surgawi, di mana semuanya berada pada skala manusia super … (perjalanan dimensi lain)

… Mengapa Bhagavatam menggambarkan Jambudvipa sebagai bagian dari Bumi dan bagian dari dunia selestial? Karena ada hubungan antara keduanya. Untuk memahami, mari pertimbangkan gagasan dunia paralel. Dengan siddhis, atau kesempurnaan mistik, seseorang dapat mengambil jalan pintas melintasi ruang. Perjalanan mistis menjelaskan bagaimana dunia para dewa terhubung dengan dunia kita. Secara khusus, ini menjelaskan bagaimana Jambudvipa, sebagai alam surga para dewa, terhubung dengan Jambudvipa sebagai Bumi atau bagian dari Bumi. Dengan demikian, model ganda Jambudvipa (bhugola dan bhumandala) masuk akal dalam pengertian pemahaman Puran tentang siddhis.

Dalam pengertian ini kita dapat menjelaskan bidang besar tanah yang harus dilalui oleh Pāṇḍava untuk berkeliling Jambūdvīpa dengan menyatakan bahwa Pāṇḍava sebenarnya hanya berjalan di sekitar tempat-tempat suci India, tetapi memiliki akses spiritual ke rekan-rekan selestial mereka di Jambūdvīpa yang lebih besar . Jadi mereka memiliki mata untuk melihat hal-hal dalam skala besar (dimensi lain) meskipun mereka tidak pernah meninggalkan India sendiri.

Sementara ada kebenaran pada konsep ini – Gangga, misalnya, memiliki sumbernya di India dan juga di puncak gunung Meru – pertanyaannya tetap: ketika Mahābhārata menggambarkan ziarah Pāṇḍava di sekitar Jambūdvīpa, apakah ini merujuk hanya pada ziarah di sekitar India , atau apakah mereka sebenarnya pergi ke sekitar tempat-tempat Jambūdvīpa yang sebenarnya (alam dimensi lain), dan terutama ke salah satu gunung utamanya, yaitu Gandhamādana? Dari pembacaan langsung teks itu sendiri, tidak ada gunanya kita harus menerimanya bahwa mereka memasuki dimensi lain dari kenyataan ketika sebenarnya mereka hanya berjalan di sekitar situs perjalanan suci dari apa yang kita sebut sekarang India.

Mereka memang memasuki dimensi lain dalam ziarah Jambūdvīpa mereka, tetapi setiap kali itu terjadi, secara khusus disebutkan sebagai peristiwa tertentu. Kalau tidak, itu hanya menggambarkan Lomasa Muni yang menuntun mereka berziarah dari hutan di India untuk dekat dengan pusat Jambūdvīpa, merasakan keajaiban yang lebih besar dan lebih besar ketika mereka melanjutkan perjalanan mereka. Lupakan Lord of the Rings; ini adalah dunia nyata. Jambūdvīpa secara harfiah adalah tengah Bumi (Bhū-maṇḍala) dan penuh dengan keajaiban.

Ziarah Pāṇḍava di sekitar Jambūdvīpa bersama Lomasa Muni

Poin yang ingin kami sampaikan adalah bahwa dalam video Vedic Cosmos, itu menggambarkan Bhārata-kanda (Bumi) sebagai bola berbentuk bola yang mengambang di lautan air asin, tetapi di Mahābhārata tidak disebutkan tentang penyilangan Pāṇḍava yang melintasi dari sebuah bola dunia- berbentuk Bumi sampai ke daratan Jambūdvīpa. Mereka terus bepergian ke utara dari India saat ini dan entah bagaimana mencapai Gunung Gandhamādana di Jambūdvīpa.

Itu akan lebih seperti para pelancong yang menyeberang dari Eropa ke Asia dan tidak seperti para astronot yang terbang dari sebuah planet ke negeri asing lainnya, atau seperti para pelancong astral yang bergerak dari satu dimensi ke dimensi lain. Perjalanan dari Bhārata-varṣa ke Jambūdvīpa mungkin memang membutuhkan kapal, meskipun itu tidak secara khusus ditunjukkan dalam kasus perjalanan Pāṇḍava.

Menurut īrīmad-Bhāgavatam, seseorang mencapai Jambūdvīpa dengan menuju ke arah utara dari India. Ini tidak masuk akal dengan konsepsi bola dunia tetapi masuk akal dengan konsepsi Bumi datar yang diperluas. Beberapa orang mungkin mencoba untuk berargumen bahwa tempat-tempat seperti Gandhamādana dan Pegunungan Meru harus merujuk ke tempat-tempat di India tetapi gagasan ini dapat langsung ditolak karena tidak menunjukkan kepercayaan pada kosmologi Śrīmad-Bhāgavatam.

Para Pāṇḍava adalah entitas manusia super (yang mampu lintas dimensi). Apa yang akan mencegah mereka pergi ke Jambūdvīpa yang sebenarnya? Menurut teks-teks itu, Arjuna sedang melakukan perjalanan ke seluruh alam semesta, apa yang harus dikatakan hanya pergi dari satu varṣa Jambūdvīpa ke yang lain.

Lomasa Muni, pemandu mereka, baru saja tiba dari Indraloka. Tidak ada keraguan bahwa para Pāṇḍava dan rekan-rekan mereka memiliki kualifikasi dan kemampuan untuk melakukan perjalanan seperti itu. Masalahnya adalah apakah kita percaya cerita itu; apakah kita benar-benar percaya ada tempat yang disebut Jambūdvīpa yang membentuk bagian terbesar dari pulau berdiameter 800.000 mil yang tidak lagi terlihat oleh mata dan indera kita. Percayalah, itu menjadi narasi yang jauh lebih mungkin ketika kita dapat melihat kisah bahwa NASA telah berputar tentang dunia tempat kita hidup. Tetapi kita akan kembali ke sana.

Demi presentasi ini yang mendukung konsep Bumi yang datar, oleh karena itu saya akan memahami secara harfiah bahwa dari India, mereka benar-benar melakukan tur di sekitar wilayah daratan yang luas ini. Lomasa Muni membawa para Pāṇḍava ke banyak tempat fantastis, yang semuanya sesuai dengan deskripsi Jambūdvīpa, bukan India kecil kami.

Sebenarnya, kita tidak perlu menggunakan ide-ide alam semesta paralel untuk menjelaskan hubungan Bumi dengan Jambūdvīpa. Gagasan alam semesta paralel, dalam hal apa pun, masih akan mengajukan pertanyaan tentang di mana tepatnya Bumi berada dalam kaitannya dengan Jambūdvīpa di alam semesta paralel. Meskipun kualifikasi khusus diperlukan untuk memasuki bagian lain dari alam semesta, jalan menuju Jambūdvīpa tidak seperti pergi melalui pakaian Profesor Digory Kirke dan berakhir di Narnia. Śrīmad-Bhāgavatam sebenarnya sangat tepat dalam deskripsi ukuran dan bentuk Jambūdvīpa dan jaraknya dari tempat kita berada. Śukadeva Goswāmī menjelaskannya menggunakan pengukuran dan dimensi kita. Dia menggambarkan fisiknya dalam dimensi yang kita pahami. Dengan kata lain, ia ingin memberi tahu pembaca (di sini di bagian Bumi ini) tentang Bumi yang lebih besar yang secara harfiah beberapa ribu mil jauhnya ke utara.

Karena itu, kami tidak perlu mengambil arti aneh dari hubungan Bumi dengan Jambūdvīpa; deskripsi Śrīmad-Bhāgavatam tentang hubungan di luar visualisasi atau pemahaman kita. Jika saya mendengar Inggris digambarkan sebagai pulau 20 mil di lepas pantai daratan Eropa, saya hanya menerima uraiannya apa adanya. Saya tidak perlu menggunakan ide alam semesta paralel untuk mengonseptualisasikan hubungan Inggris ke Eropa, atau untuk menemukan jalan saya. Mungkin ada beberapa proses mistik yang dengannya saya bisa menyeberangi laut dalam contoh membuat jarak normal dan pengukuran menjadi berlebihan, tetapi itu bukan proses yang dijelaskan pada peta biasa untuk manusia menggunakan metode perjalanan konvensional pada jarak yang dikenal secara umum. Jika seseorang ingin pergi ke Eropa dari Inggris, misalnya, seseorang bisa naik kereta api dan menyeberang di bawah laut menggunakan Eurotunnel, atau orang bisa naik perahu dan berlayar di atas laut, atau orang bisa naik pesawat dan terbang di atas laut . Atau, seseorang dapat melakukan perjalanan astral jika mereka telah mengembangkan beberapa siddhi mistik. Namun, apa pun moda transportasi, seseorang masih melintasi jarak yang sama, hanya dalam waktu yang lebih pendek atau lebih lama. Jarak biasanya dikenal sebagai unit pengukuran yang relatif dilalui oleh moda transportasi yang lebih cepat atau lebih lambat apakah itu kotor (mesin) atau halus (kekuatan mistik).

Śrīmad-Bhāgavatam juga menggunakan jarak dan dimensi yang dipahami secara umum yang dimaksudkan untuk membantu kita di sini di Bhārata-varṣa untuk memahami di mana dan seberapa jauh tempat-tempat lain di alam semesta berasal dari kita. Karena itu, kita harus mengambil deskripsi Śrīmad-Bhāgavatam tentang hubungan Bumi dengan Jambūdvīpa. Jambūdvīpa berada di utara wilayah daratan dan lautan utara kita. Jika deskripsi tempat Bumi di alam semesta berada di luar pemahaman kita, mengapa Śukadeva Goswāmī bahkan repot-repot menyebutkannya? Mengapa repot-repot membuat planetarium jika bentuk dan lokasi Bumi tidak bisa dipahami? Deskripsi Jambūdvīpa sebenarnya sangat lurus ke depan dan harus diambil sebagai deskripsi literal dari daratan luas yang berdekatan dengan milik kita. Banyak pengamatan dan argumen yang diajukan oleh para pendukung masyarakat Bumi yang datar sebenarnya mengkonfirmasi setidaknya sebagian dari deskripsi Śukadeva Goswāmī bahwa Bumi bersandar pada bidang datar datar yang diperluas, tidak berputar di ruang kosong di sekitar matahari.

Jadi mari kita coba ambil ini: Menurut Śukadeva Goswāmī kita tidak berada di dunia bundar di luar angkasa; alih-alih, apa yang kita ketahui sebagai wilayah daratan Bumi kita saat ini, hanya bagian dari Bumi yang jauh lebih besar yang disebut Bhārata-varṣa, yang hanya merupakan bagian dari pulau bundar 800.000 mil yang disebut Jambūdvīpa, yang hanya merupakan pulau bagian dalam dari berbagai lingkaran konsentris tanah dan pulau-pulau yang terus menempuh jarak sepanjang lingkaran berdiameter 4 miliar disebut Bhū-ma -ala.

Di atas dan di bawah Bhū-maṇḍala adalah tingkat lain dari alam semesta. Śrīla Prabhupāda menyebut 14 tingkat ini sebagai sistem planet, meskipun mereka bukan planet dalam pengertian konvensional kita. Semua tempat ini dihuni oleh berbagai bentuk kehidupan. Bhū-maṇḍala adalah bidang horizontal tengah yang membagi alam semesta menjadi sistem yang lebih tinggi dan lebih rendah. Bhū-maṇḍala membentang ke cangkang alam semesta yang melingkupi segala sesuatu yang ada di dalamnya. Bumi, atau lebih tepatnya, Bhārata-varṣa adalah bagian kecil dari pulau tengah Bhū-maṇḍala yang disebut Jambūdvīpa. Kami benar-benar berada di pusat alam semesta. Bhārata-varṣa digambarkan sebagai tempat unik di alam semesta karena di sinilah makhluk hidup menciptakan karma yang menentukan tempat dan posisi masa depan mereka di alam semesta. Ini juga merupakan tempat di alam semesta di mana makhluk hidup paling mudah mencapai pembebasan. Posisi unik Bhārata-varṣa dijelaskan dalam Viṣṇu Purāṇa:

Negara yang terletak di utara samudera, dan selatan pegunungan bersalju, disebut Bhárata, karena di sana berdiam keturunan Bharata. Luasnya 9000 liga, dan merupakan tanah karya, sebagai konsekuensinya manusia naik ke surga, atau mendapatkan emansipasi.

Tujuh rantai utama pegunungan di Bhārata adalah Mahendra, Malaya, Sahya, Śuktimat, Riksha, Vindhya, dan Páripátra.

Dari daerah ini surga diperoleh, atau bahkan, dalam beberapa kasus, pembebasan dari keberadaan; atau laki-laki masuk dari sana ke dalam kondisi karma buruk, atau jatuh ke neraka. Surga, emansipasi, keadaan di udara, atau di alam bawah sadar, berhasil ada di sini, dan dunia tindakan bukanlah judul bagian lain dari alam semesta …

… Dalam Bhārata-varsha adalah bahwa suksesi empat Yuga, atau zaman, Krita, Treta, Dwāpara, dan Kali, terjadi; bahwa para petapa saleh terlibat dalam penebusan dosa yang keras yang dilakukan orang-orang saleh mempersembahkan korban dan bahwa hadiah dibagikan semua demi dunia lain. Dalam Jambu-dwipa, Wisnu, yang terdiri dari pengorbanan, disembah, sebagai lelaki dari upacara pengorbanan, dengan upacara pengorbanan: ia dipuja di bawah bentuk lain di tempat lain. Karena itu, Bhárata adalah yang terbaik dari divisi Jambu-dwípa, karena ini adalah tanah karya: yang lain adalah tempat kesenangan semata.

Hanya setelah ribuan kelahiran, dan kumpulan banyak manfaat, makhluk hidup kadang-kadang dilahirkan di Bhārata sebagai manusia. Para dewa sendiri berseru, “Bahagia adalah mereka yang dilahirkan, bahkan dari kondisi para dewa, seperti manusia di Bhārata-varsha, karena itulah jalan menuju kenikmatan surga, atau berkat yang lebih besar dari pembebasan akhir. Bahagia adalah mereka yang , menyerahkan semua imbalan yang tidak dihiraukan dari tindakan mereka kepada Wisnu yang tertinggi dan abadi, mendapatkan keberadaan di tanah karya itu, sebagai jalan mereka kepadanya. Kita tidak tahu, ketika tindakan yang telah memperoleh kita surga akan sepenuhnya dibalas, di mana kita akan memperbarui kurungan jasmani, tetapi kita tahu bahwa orang-orang itu beruntung yang dilahirkan dengan kemampuan sempurna dalam Bhārata-varsha. “(Viṣṇu Purāṇa, Buku 2, Bab 3)

Posisi unik Bhārata-varṣa juga dijelaskan dalam Śrīmad-Bhāgavatam, Canto 5, bab 19. Di sini kita membaca kata-kata para dewa yang meratapi posisi mewah material mereka yang menyebabkan mereka mengabaikan kehidupan spiritual mereka. Sebagai gantinya mereka berdoa untuk kelahiran di Bhārata-varṣa di mana pengabdian kepada Krishna mudah dipupuk dan pembebasan dari siklus kelahiran dan kematian paling mudah dicapai:

Karena bentuk kehidupan manusia adalah posisi luhur untuk realisasi spiritual, semua dewa di surga berbicara dengan cara ini: Betapa indahnya bagi manusia untuk dilahirkan di tanah Bhārata-varṣa. Mereka pasti telah melakukan tindakan yang saleh di masa lalu, atau Personalitas Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa Sendiri pasti senang dengan mereka. Kalau tidak, bagaimana mereka dapat melakukan pelayanan bakti dalam banyak hal? Kami para dewa hanya dapat bercita-cita untuk mencapai kelahiran manusia di Bhārata-varṣa untuk melaksanakan pelayanan bhakti, tetapi umat manusia ini sudah terlibat di sana.

Para dewa melanjutkan: Setelah melakukan tugas-tugas yang sangat sulit untuk melaksanakan pengorbanan ritual Veda, menjalani penghematan, mengamati sumpah dan memberikan amal, kita telah mencapai posisi ini sebagai penghuni planet-planet surga. Tapi apa nilai dari pencapaian ini? Di sini kita tentu saja sangat terlibat dalam kepuasan indera material, dan oleh karena itu kita hampir tidak dapat mengingat kaki lotus Tuhan Nārāyaṇa. Memang, karena kepuasan indera kita yang berlebihan, kita hampir melupakan kaki-padma-Nya.

Kehidupan singkat di tanah Bharata-varṣa lebih disukai daripada kehidupan yang dicapai di Brahmaloka selama jutaan dan milyaran tahun karena walaupun seseorang diangkat ke Brahmaloka, ia harus kembali ke kelahiran dan kematian yang berulang. Walaupun kehidupan di Bhāratavarṣa, dalam sistem planet yang lebih rendah, sangat singkat, orang yang tinggal di sana dapat mengangkat dirinya hingga mencapai kesadaran Kṛṣṇa penuh dan mencapai kesempurnaan tertinggi, bahkan dalam kehidupan yang singkat ini, dengan menyerahkan sepenuhnya kepada kaki-padma Tuhan. Demikianlah seseorang mencapai Vaikuṇṭhaloka, di mana tidak ada kegelisahan atau kelahiran berulang dalam tubuh material.

Kita sekarang hidup di planet-planet surga, tidak diragukan lagi karena kita telah melakukan upacara ritual, kegiatan saleh dan yajña dan mempelajari Veda. Namun, kehidupan kita di sini suatu hari akan selesai. Kami berdoa agar pada saat itu, jika ada kebajikan yang tersisa dari kegiatan saleh kami, kami dapat kembali melahirkan di Bhārata-varṣa sebagai manusia yang dapat mengingat kaki-padma Tuhan. Sang Bhagava sangat baik sehingga Dia secara pribadi datang ke tanah Bhārata-var expa dan memperluas kekayaan umatnya. (Śrīmad-Bhāgavatam 5.19.21-28)

Bacaan/sumber lain :

Penjelasan Jambudvipa dan susunannya.

Iskon

Lomasa Muni

2 thoughts on “Perjalanan (Astral) Para Pandawa ke JambuDwipa Setelah Perang Mahabharata

Leave a comment